Pertumbuhan cloud-native application kini menjadi salah satu penggerak utama transformasi digital di berbagai industri. Pendekatan ini memungkinkan organisasi untuk membangun aplikasi yang lebih fleksibel, scalable, dan responsif terhadap perubahan kebutuhan pasar. Tak heran, banyak perusahaan mulai mengadopsi pendekatan cloud-native sebagai fondasi utama pengembangan layanan digital mereka.
Namun, di balik potensi besar tersebut, mengelola aplikasi berbasis cloud bukan perkara mudah. Kompleksitas infrastruktur, kebutuhan orkestrasi lintas lingkungan, hingga tantangan dalam mengatur resource secara efisien sering kali menjadi hambatan. Tim IT dan developer harus menghadapi banyak variabel teknis yang terus berkembang—dan ini bisa memperlambat proses inovasi yang seharusnya berjalan cepat.
Red Hat OpenShift AI menawarkan solusi terintegrasi untuk mempercepat adopsi kecerdasan buatan dan menyederhanakan pengelolaan cloud-native application di berbagai lingkungan. Artikel ini akan membahas bagaimana platform ini menjawab tantangan teknis melalui pendekatan AI-driven cloud optimization, serta mendukung pengembangan aplikasi cerdas yang scalable dan efisien.
Mengapa Aplikasi Cerdas dan Generative AI Semakin Dibutuhkan?
Perkembangan cloud-native application mendorong organisasi untuk mengadopsi AI sebagai bagian dari strategi modernisasi. Namun, realitanya penerapan AI dalam operasional bisnis kerap memakan waktu berbulan-bulan, sementara inovasi di ranah generative AI berkembang setiap hari. Ketidakseimbangan ini bisa menjadi risiko besar bagi bisnis, terutama jika tim sulit mengikuti perkembangan tools, mengelola resource seperti GPU, atau berkolaborasi dalam satu platform yang konsisten.
Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang mampu menyatukan tim data science, engineering, dan IT dalam satu ekosistem yang fleksibel dan efisien—memungkinkan pengembangan, pelatihan, dan deployment AI dilakukan lebih cepat, di mana pun workload dijalankan.
Mengenal Red Hat OpenShift AI
Red Hat OpenShift AI adalah platform berbasis open source yang dirancang untuk mempercepat siklus hidup model AI—dari eksperimen, pelatihan, hingga deployment—di lingkungan hybrid cloud. Platform ini memungkinkan tim data science, engineer, dan developer untuk bekerja dalam satu ekosistem yang konsisten dan scalable. Dengan integrasi berbagai tools populer seperti Jupyter, TensorFlow, dan PyTorch, serta dukungan MLOps melalui Kubeflow, kolaborasi lintas tim menjadi lebih efisien.
Keunggulan utama OpenShift AI terletak pada kemampuannya membawa AI-enabled application ke tahap produksi lebih cepat. Melalui fitur seperti self-service access, resource scaling otomatis, serta manajemen workload berbasis GPU, organisasi bisa mengurangi kompleksitas operasional tanpa mengorbankan performa. Selain itu, platform ini fleksibel—bisa dijalankan secara self-managed maupun sebagai managed service di berbagai cloud provider—memberikan kebebasan dalam memilih strategi deployment yang sesuai kebutuhan bisnis.
Transformasi OpenShift: Dari Orkestrasi Aplikasi ke Platform AI-Ready
OpenShift berkembang mengikuti kebutuhan zaman—dari yang awalnya fokus pada orkestrasi aplikasi, kini menjadi platform yang siap mendukung pengembangan AI secara end-to-end. Melalui tabel berikut, kita bisa lihat bagaimana kapabilitasnya ikut bertransformasi untuk menjawab tantangan teknologi yang semakin kompleks.
Kategori Fitur | Red Hat OpenShift (Non-AI) | Red Hat OpenShift AI |
Fungsi Utama | Platform orkestrasi container berbasis Kubernetes | Platform berbasis AI/ML untuk mengelola workload AI |
Dukungan AI/ML | Dukungan terbatas untuk AI/ML tools | AI/ML tools terintegrasi untuk pelatihan, deployment, dan serving model |
Manajemen Model | Tidak memiliki fitur khusus untuk manajemen model | Registry model terpusat untuk versioning dan pelacakan |
Manajemen Data | Penanganan data umum untuk aplikasi | Deteksi perubahan data (data drift) untuk menjaga akurasi input model |
Deteksi Bias | Tidak ada tools untuk deteksi fairness | Tools khusus untuk mendeteksi dan mengurangi bias pada model |
Fine-Tuning Model | Skalabilitas aplikasi tradisional | Fine-tuning efisien menggunakan LoRA untuk model bahasa besar |
Akselerasi GPU | Mendukung NVIDIA dan AMD GPU untuk workload container | Eksekusi workload AI dioptimalkan dengan dukungan NVIDIA NIM dan AMD ROCm |
Dukungan Hybrid Cloud | Men-deploy workload di berbagai lingkungan hybrid cloud | Pelatihan dan inferensi model AI di berbagai lingkungan hybrid cloud dan multicloud |
Integrasi MLOps | Membutuhkan tools pihak ketiga | Fondasi MLOps bawaan dengan dukungan Red Hat Consulting |
Proyek Open Source | Berdasarkan Kubernetes dan ekosistem OpenShift | Integrasi dengan Kubeflow dan TrustyAI untuk siklus hidup model AI |
Baca Juga: Apa Keunggulan RHEL AI sebagai Solusi Generatif AI untuk Bisnis?
6 Tantangan Besar Cloud-Native dan Hybrid Apps — dan Bagaimana OpenShift AI Menjawabnya
Membangun dan menjalankan cloud-native application di lingkungan hybrid sering kali penuh tantangan. Mulai dari deployment yang kompleks, biaya yang membengkak, hingga model AI yang cepat usang. OpenShift AI hadir untuk menjawab masalah-masalah tersebut lewat solusi yang lebih terintegrasi, fleksibel, dan siap digunakan di skala besar. Berikut enam tantangan utama yang umum ditemui, dan bagaimana OpenShift AI membantu mengatasinya.
1. Deployment Kompleks, Infrastruktur Tidak Fleksibel
Dalam ekosistem hybrid cloud, setiap cloud-native application bisa berjalan di environment dengan dependency dan konfigurasi yang berbeda-beda. Ini menyebabkan deployment menjadi tidak konsisten dan memakan waktu.
OpenShift memfasilitasi orkestrasi container berbasis Kubernetes yang terstandardisasi, sementara OpenShift AI memperkuatnya dengan fitur Model Registry—memungkinkan penyimpanan, versioning, dan tracking model AI secara terpusat, mendukung audit dan kontrol siklus hidup model yang lebih rapi.
2. Kurangnya Agility dalam Skalabilitas dan Resource Efficiency
Skalabilitas horizontal yang lambat dan pengalokasian resource yang tidak optimal dapat menjadi bottleneck, khususnya saat beban kerja meningkat secara tiba-tiba. OpenShift mendukung dynamic autoscaling dan resource orchestration di environment hybrid dan multicloud.
OpenShift AI melengkapi ini dengan akselerasi GPU-native menggunakan NVIDIA NIM dan AMD ROCm untuk mengoptimalkan inferensi model AI dan mempercepat time-to-value pada aplikasi berbasis AI.
3. Model Drift Akibat Data Real-Time yang Tidak Stabil
Distribusi data yang terus berubah membuat model machine learning cepat mengalami drift, sehingga output menjadi tidak akurat. OpenShift AI menyediakan Data Drift Detection yang secara otomatis memonitor input data terhadap baseline training set. Dengan pipeline yang fleksibel, tim data science dapat menjalankan proses retraining model secara otomatis berdasarkan parameter yang dapat disesuaikan.
4. Minimnya Transparansi dan Kontrol terhadap Fairness Model
Dalam penggunaan AI untuk pengambilan keputusan kritikal, verifikasi fairness dan explainability menjadi krusial. Tanpa deteksi bias, model rawan membuat keputusan yang diskriminatif. OpenShift AI menyediakan Bias Detection Tools dari ekosistem TrustyAI, yang bisa diintegrasikan langsung dalam pipeline model untuk evaluasi fairness, baik saat training maupun dalam fase inferensi.
5. Overhead Operasional Tinggi untuk Model Training
Fine-tuning model besar seperti LLMs sering kali membutuhkan kapasitas GPU tinggi dan konsumsi resource besar. OpenShift AI mendukung metode fine-tuning efisien menggunakan LoRA (Low-Rank Adapters), yang memungkinkan update model dilakukan dengan footprint yang minimal—mengurangi kebutuhan memori dan komputasi tanpa mengorbankan akurasi.
6. Fragmentasi Tools MLOps dan Pipeline yang Tidak Terkelola
Banyak tim AI/ML masih mengelola lifecycle model secara manual dengan tools yang tidak terintegrasi. Ini menciptakan celah dalam proses CI/CD untuk model AI. OpenShift AI mengatasi ini dengan integrasi penuh ke dalam Kubeflow dan Open Data Hub, menyediakan workflow builder, experiment tracking, dan automated pipeline execution dalam satu platform end-to-end.
Bagaimana Red Hat Pangkas Biaya Support hingga $5 Juta dengan OpenShift AI
Dengan lebih dari 30.000 kasus dukungan baru setiap bulan, Red Hat dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga efisiensi dan kecepatan respons. Untuk mengatasinya, mereka mengembangkan serangkaian solusi berbasis AI menggunakan OpenShift AI dan Red Hat Enterprise Linux AI. Solusi ini mencakup sistem rekomendasi artikel troubleshooting yang lebih relevan hingga alat summarization otomatis untuk proses serah-terima kasus—semuanya dijalankan di lingkungan hybrid cloud yang terakselerasi GPU.
Hasilnya? Lebih dari $5 juta penghematan operasional, peningkatan kepuasan pengguna, dan efisiensi tim support yang signifikan. Proses-proses yang sebelumnya repetitif kini dapat diotomatisasi, sehingga waktu respons terhadap pelanggan menjadi jauh lebih cepat. Inisiatif ini membuktikan bahwa pemanfaatan AI di atas platform yang tepat dapat memberikan dampak nyata, efisien, dan terukur.
Jelajahi Potensi OpenShift AI untuk Cloud-Native Anda — Bersama Virtus
Virtus Technology Indonesia (VTI) menghadirkan solusi Red Hat OpenShift AI untuk mempercepat operasionalisasi AI dan menyederhanakan pengelolaan cloud-native application—terutama dalam hal deployment model yang konsisten, pemanfaatan GPU secara efisien, dan integrasi pipeline MLOps end-to-end.
Sebagai bagian dari Computrade Technology International (CTI) Group, Virtus siap mendampingi Anda dari tahap konsultasi hingga after-sales support, bersama tim ahli yang berpengalaman dalam implementasi solusi AI-ready berbasis OpenShift.
Hubungi kami sekarang dan wujudkan cloud-native yang cerdas, scalable, dan siap produksi—bersama Virtus!
Author: Danurdhara Suluh Prasasta
CTI Group Content Writer